Kamis, 19 Juli 2012

Situs Biting Kian Genting


   Sebagai salah satu kota  di Jawa Timur, Kota Lumajang seperti halnya daerah lain hingga saat ini sedang giat dalam melaksanakan pembangunan di berbagai bidang. Pelan namun pasti makin pesatnya aktivitas di Kota Pisang ini mengisyaratkan bahwa Lumajang  sedang mengarah pada modernisasi peradaban zaman. Lumajang bagi penulis bukan hanya sekadar tanah kelahiran semata, melainkan juga merupakan oase atas nilai-nilai sejarah yang terkandung di dalamnya. Artinya, penulis sebagai warga tidak selalu memaknai proses dan hasil dari pembangunan yang saat ini berlangsung, melainkan bagaimana pula penulis juga harus memaknai serta peduli terhadap peninggalan sejarah yang melatarbelakanginya. Menutup mata atas kondisi cagar budaya di Kota Lumajang, sepertinya ada kesan bahwa kita memang sudah tidak lagi membutuhkan sebuah tetengger (tanda) semacam situs atau candi sebagai pengewajantahan dari hierarki sejarah lokal. Nilai-nilai edukasi yang sedang dibangun pun hanya sekadar ada dalam buku-buku pelajaran sejarah, sementara bukti autentik dari sejarah itu kini tinggal menunggu waktu untuk hilang dari peredaran (sejarah) peradaban zaman. Sulit dibayangkan ketika di setiap: sudut kota, alun-alun dengan sekumpulan taman dan hutan kota (urban forest), maupun bangunan lainnya dibuat begitu rapi dan indah. Tapi, siapa sangka jika dibalik pesatnya kota ini ada suatu tempat yang jauh dari kesan diatas.

        Mungkin tidak banyak orang yang mengetahui atau hanya mendengar dengan sebuah nama Situs Biting. Bagi masyarakat Kota Lumajang pada umumnya, nama Situs Biting bukan-lah nama yang asing. Mengingat, daerah dimana situs itu berdiri konon dulunya merupakan pusat pemerintahan (kotapraja) di masa Kerajaan Majapahit. Sebagai salah satu kota tertua di Jawa Timur selain Kota Tuban, dalam area situs tersebut memang tidak banyak tanda-tanda yang menunjukkan bahwa situs yang berlokasi di Dusun Biting, Desa Kutorenon, Kecamatan Sukodono  tersebut adalah daerah yang menaungi wilayah Pasuruan hingga Banyuwangi. Pasalnya, area Situs Biting yang menyatu dengan lahan perkebunan tebu tersebut sepertinya jauh dari usaha untuk dilindungi oleh pemerintah daerah (Pemda) maupun warga setempat. Indikatornya adalah kontekstual dari situs sejarah: Nira Nagara Lamajang tersebut makin terpuruk karena harus bersaing dengan bangunan permukiman rumah penduduk yang lambat laun akan menggeser keberadaannya. Tak jelas pula entah sampai kapan sudut-sudut bangunan kuno peninggalan Arya Wiraraja seperti: Keraton, Jeding, maupun Randu itu akan segera diselamatkan.
 Saat ini kita tak perlu lagi memperdebatkan siapa yang nantinya akan bertanggungjawab terhadap kelangsungan “hidup” dari Situs Biting tersebut. Menurut penulis, setidaknya ada dua hal yang harus diperhatikan dari pihak Pemda Lumajang. Pertama, fungsi manifes, artinya pemda harus menciptakan program layaknya Corporate Social Responsibility (CSR) yang melindungi aset sejarah daerah agar bisa terkoneksi oleh masyarakat luas. Dan Kedua, fungsi kausalitas, yaitu dengan terlindunginya situs tersebut maka bisa dijadikan sebagai salah satu tempat kunjungan wisata yang mempunyai nilai tinggi. Terakhir, kedewasaan dan kearifan pemerintah setempat-lah yang harus dibuktikan perannya dan bukan mencari pihak lain yang harus menanganinya.
 
(Dimuat di Harian Surya, 26 Februari 2011)        

Tidak ada komentar:

Posting Komentar