Sebagai salah satu kota di Jawa Timur, Kota Lumajang seperti halnya
daerah lain hingga saat ini sedang giat dalam melaksanakan pembangunan di
berbagai bidang. Pelan namun pasti makin pesatnya aktivitas di Kota Pisang ini
mengisyaratkan bahwa Lumajang sedang
mengarah pada modernisasi peradaban zaman. Lumajang bagi penulis bukan hanya sekadar
tanah kelahiran semata, melainkan juga merupakan oase atas nilai-nilai sejarah
yang terkandung di dalamnya. Artinya, penulis sebagai warga tidak selalu
memaknai proses dan hasil dari pembangunan yang saat ini berlangsung, melainkan
bagaimana pula penulis juga harus memaknai serta peduli terhadap peninggalan
sejarah yang melatarbelakanginya. Menutup mata atas kondisi cagar budaya di
Kota Lumajang, sepertinya ada kesan bahwa kita memang sudah tidak lagi
membutuhkan sebuah tetengger (tanda)
semacam situs atau candi sebagai pengewajantahan dari hierarki sejarah lokal.
Nilai-nilai edukasi yang sedang dibangun pun hanya sekadar ada dalam buku-buku
pelajaran sejarah, sementara bukti autentik dari sejarah itu kini tinggal
menunggu waktu untuk hilang dari peredaran (sejarah) peradaban zaman. Sulit dibayangkan
ketika di setiap: sudut kota, alun-alun dengan sekumpulan taman dan hutan kota
(urban forest), maupun bangunan lainnya
dibuat begitu rapi dan indah. Tapi, siapa sangka jika dibalik pesatnya kota ini
ada suatu tempat yang jauh dari kesan diatas.
Mungkin
tidak banyak orang yang mengetahui atau hanya mendengar dengan sebuah nama Situs Biting. Bagi masyarakat Kota
Lumajang pada umumnya, nama Situs Biting bukan-lah nama yang asing. Mengingat,
daerah dimana situs itu berdiri konon dulunya merupakan pusat pemerintahan (kotapraja)
di masa Kerajaan Majapahit. Sebagai salah satu kota tertua di Jawa Timur selain
Kota Tuban, dalam area situs tersebut memang tidak banyak tanda-tanda yang
menunjukkan bahwa situs yang berlokasi di Dusun Biting, Desa Kutorenon,
Kecamatan Sukodono tersebut adalah
daerah yang menaungi wilayah Pasuruan hingga Banyuwangi. Pasalnya, area Situs
Biting yang menyatu dengan lahan perkebunan tebu tersebut sepertinya jauh dari
usaha untuk dilindungi oleh pemerintah daerah (Pemda) maupun warga setempat.
Indikatornya adalah kontekstual dari situs sejarah: Nira Nagara Lamajang tersebut makin terpuruk karena harus bersaing
dengan bangunan permukiman rumah penduduk yang lambat laun akan menggeser keberadaannya.
Tak jelas pula entah sampai kapan sudut-sudut bangunan kuno peninggalan Arya Wiraraja seperti: Keraton, Jeding,
maupun Randu itu akan segera diselamatkan.
Saat ini kita
tak perlu lagi memperdebatkan siapa yang nantinya akan bertanggungjawab
terhadap kelangsungan “hidup” dari Situs Biting tersebut. Menurut penulis,
setidaknya ada dua hal yang harus diperhatikan dari pihak Pemda Lumajang.
Pertama, fungsi manifes, artinya pemda harus menciptakan program layaknya Corporate Social Responsibility (CSR)
yang melindungi aset sejarah daerah agar bisa terkoneksi oleh masyarakat luas.
Dan Kedua, fungsi kausalitas, yaitu dengan terlindunginya situs tersebut maka
bisa dijadikan sebagai salah satu tempat kunjungan wisata yang mempunyai nilai
tinggi. Terakhir, kedewasaan dan kearifan pemerintah setempat-lah yang harus
dibuktikan perannya dan bukan mencari pihak lain yang harus menanganinya.
(Dimuat di Harian Surya, 26 Februari 2011)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar