Bagi penyuka film kartun, mungkin
tak pernah sedikit-pun melewatkan film Mu Lan, seorang gadis yang merubah dirinya menjadi
seorang “laki-laki” maju ke medan perang. Yang mematik keunikan disini adalah
ketika Mu Lan menjadi seorang ksatria, dia ditemani oleh seekor naga kecil yang
tingkah laku serta kalimatnya selalu mengundang tawa. Dalam bagian lain,
penulis memandang film ini laiknya memiliki keutamaan nilai persahabatan dan rasa
cinta kasih. Korelasinya adalah tradisi Tahun Baru China atau Imlek yang sudah
menjadi image terkini bagi warga metropolis Surabaya memang tidak selalu
dikaitkan dengan: kue bulan, buah apel yang
dijadikan sebuah simbol kedamaian (pingguo),
ikan (yu), atau-pun menghormati
kepada pemberi kehidupan (bai gui). Tapi
memang gerakan liak liuk naga dalam tari Barongsai, yang diterangi oleh lampu
lampion dengan bertabur bunyi petasan maupun angpao bagi penulis justru lebih mendominasi. Persahabatan dan kasih
sayang untuk saling melindungi yang ditampilkan oleh kedua sahabat tersebut tentu
saja menjadi spirit pelengkap atas hadirnya hari cinta kasih (Valentine) yang
perayaannya juga bersamaan dengan Imlek di bulan Februari. Pun demikian, terlepas
dari waktunya yang hampir bersamaan atau tidak yang jelas khazanah dari kedua
perayaan tersebut adalah bukti anugerah dari Tuhan yang patut untuk disyukuri.
Secara pribadi penulis memang tidak mempunyai ikatan
emosional dengan hari raya Imlek (Xin
Nian) seperti halnya Gus Dur. Meneladani kegigihan beliau dalam menempatkan
Tahun Baru Imlek sebagai hari libur nasional, membuat penulis senantiasa untuk
selalu belajar dalam memahami makna toleransi terhadap sebuah pluralitas sosial
masyarakat berikut budayanya agar ditumbuhkembangkan. Pernak-pernik Imlek
nuansa lokal makin semarak tak kala penulis temui dibeberapa akses jalan maupun
mall-mall di Surabaya. Penulis bersyukur karena Surabaya dalam beberapa masa
terakhir selalu diberi ketenangan dan kedamaian di tengah kemajemukan sosial
budaya masyarakat Surabaya dengan membangun semangat saling toleran diantara sesamanya. Menukil dari
motto tokoh pejuang kesetaraan kulit hitam Amerika Serikat Martin Luther King Jr
yang berbunyi: “Let us be dissatisfied
until integration is not seen as problem but as opportunity to participate in
the beauty of diversity” (Where Do We
Go from Here? 1967). Mengartikan secara bebas dari kalimat tersebut bisa
berupa: bahwa keanekaragaman yang ada di muka bumi ini layak untuk
diperkenalkan dengan tanpa melibatkan politik maupun supremasi dari identitas (agama)
kelompok tertentu, agar terhindar dari marjinalisasi umat yang berlainan.
Merakyatnya ucapan: Gong Xi Fat Coi ala Jawa Timur-an begitu selaras ketika muncul
kompilasi antara kesenian Reog Ponorogo dengan atraksi tari Barongsai. Terlepas
dari konteks Imlek itu sendiri, budaya China yang lain juga bisa dirasakan seperti
pada prosesi Sam Poo Besar. Ritual yang berupa tradisi arak-arakan di bulan
ke-6 penanggalan Imlek ditujukan untuk menghormati kedatangan Laksamana Cheng Ho di
Kota Semarang pada abad ke-15. Ini merupakan cerminan bahwa warga keturunan
China tak hanya menjunjung tinggi budaya leluhurnya melainkan: Dimana bumi
dipijak, disana langit dijunjung.
(Dimuat di Harian Surya, 8 February 2011)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar