Rabu, 18 Juli 2012

Keberagaman Imlek

            Bagi penyuka film kartun, mungkin tak pernah sedikit-pun melewatkan film Mu Lan,  seorang gadis yang merubah dirinya menjadi seorang “laki-laki” maju ke medan perang. Yang mematik keunikan disini adalah ketika Mu Lan menjadi seorang ksatria, dia ditemani oleh seekor naga kecil yang tingkah laku serta kalimatnya selalu mengundang tawa. Dalam bagian lain, penulis memandang film ini laiknya memiliki keutamaan nilai persahabatan dan rasa cinta kasih. Korelasinya adalah tradisi Tahun Baru China atau Imlek yang sudah menjadi image terkini bagi warga metropolis Surabaya memang tidak selalu dikaitkan dengan:  kue bulan, buah apel yang dijadikan sebuah simbol kedamaian (pingguo), ikan (yu), atau-pun menghormati kepada pemberi kehidupan (bai gui). Tapi memang gerakan liak liuk naga dalam tari Barongsai, yang diterangi oleh lampu lampion dengan bertabur bunyi petasan maupun angpao bagi penulis justru lebih mendominasi. Persahabatan dan kasih sayang untuk saling melindungi yang ditampilkan oleh kedua sahabat tersebut tentu saja menjadi spirit pelengkap atas hadirnya hari cinta kasih (Valentine) yang perayaannya juga bersamaan dengan Imlek di bulan Februari. Pun demikian, terlepas dari waktunya yang hampir bersamaan atau tidak yang jelas khazanah dari kedua perayaan tersebut adalah bukti anugerah dari Tuhan yang patut untuk disyukuri.

Secara pribadi penulis memang tidak mempunyai ikatan emosional dengan hari raya Imlek (Xin Nian) seperti halnya Gus Dur. Meneladani kegigihan beliau dalam menempatkan Tahun Baru Imlek sebagai hari libur nasional, membuat penulis senantiasa untuk selalu belajar dalam memahami makna toleransi terhadap sebuah pluralitas sosial masyarakat berikut budayanya agar ditumbuhkembangkan. Pernak-pernik Imlek nuansa lokal makin semarak tak kala penulis temui dibeberapa akses jalan maupun mall-mall di Surabaya. Penulis bersyukur karena Surabaya dalam beberapa masa terakhir selalu diberi ketenangan dan kedamaian di tengah kemajemukan sosial budaya masyarakat Surabaya dengan membangun semangat saling  toleran diantara sesamanya. Menukil dari motto tokoh pejuang kesetaraan kulit hitam Amerika Serikat Martin Luther King Jr yang berbunyi: “Let us be dissatisfied until integration is not seen as problem but as opportunity to participate in the beauty of diversity” (Where Do We Go from Here? 1967). Mengartikan secara bebas dari kalimat tersebut bisa berupa: bahwa keanekaragaman yang ada di muka bumi ini layak untuk diperkenalkan dengan tanpa melibatkan politik maupun supremasi dari identitas (agama) kelompok tertentu, agar terhindar dari marjinalisasi umat yang berlainan.
Merakyatnya ucapan: Gong Xi Fat Coi ala Jawa Timur-an begitu selaras ketika muncul kompilasi antara kesenian Reog Ponorogo dengan atraksi tari Barongsai. Terlepas dari konteks Imlek itu sendiri, budaya China yang lain juga bisa dirasakan seperti pada prosesi Sam Poo Besar. Ritual yang berupa tradisi arak-arakan di bulan ke-6 penanggalan Imlek ditujukan untuk  menghormati kedatangan Laksamana Cheng Ho di Kota Semarang pada abad ke-15. Ini merupakan cerminan bahwa warga keturunan China tak hanya menjunjung tinggi budaya leluhurnya melainkan: Dimana bumi dipijak, disana langit dijunjung. 

(Dimuat di Harian Surya, 8 February 2011)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar