Persoalan umum yang sering dihadapi
oleh hampir setiap daerah dan kota di Jawa Timur termasuk Kota Surabaya seperti
sekarang ini adalah pemanfaatan infrastruktur bagi pejalan kaki (pedestrian)
yang tidak sebagaimana mestinya. Dalam situasi mondial ditengah pemerintah kota
(pemkot) Surabaya sedang giat-giatnya melakukan pembangunan dan
perbaikan (maintenance) terhadap sarana dan prasarana seperti pedestrian
ternyata masih ditemui sejumlah persoalan klasik berupa hadirnya pedagang kaki
lima (PKL), sepeda motor, mobil, maupun becak yang diparkir diatas wilayah
tersebut. Disadari atau tidak, upaya pemkot Surabaya melalui instansi
terkaitnya seperti: Dishub, Satpol PP, yang dibantu oleh aparat kepolisian
setempat dalam menjadikan trotoar sebagai kawasan tertib bagi pejalan kaki agar
terbebas dari problem diatas sejauh ini sudah dilakukan meski kurang maksimal.
Kecenderungan makin bertambahnya fasilitas umum (fasum) layaknya pedestrian
yang sudah atau telah dibangun oleh pemkot Surabaya tersebut, sudah barang
tentu menjadi daya tarik tersendiri bagi para PKL dalam berdagang serta biang
munculnya lahan parkir baru yang ilegal.
Ironisnya lagi, disaat menjamurnya
keadaan tersebut pada akhirnya upaya dalam membuat peraturan dan sanksi tegas
bagi para pelanggar area publik ini sepertinya masih sekadar wacana diatas
kertas namun mandul secara implementatif. Tulisan ini merupakan bentuk
keprihatinan penulis terhadap realitas kondisi pedestrian Kota Surabaya yang
tidak diikuti oleh kesadaran para warganya dalam menjadikan Surabaya menjadi
kota yang ramah dan tertib. Artinya, dalam menciptakan sebuah tatanan
pedestrian agar tepat sasaran, diperlukan sosialisasi yang berkelanjutan kepada
warga kota akan kegunaan bangunan tersebut. Kongkretnya, ini merupakan
tantangan serius bagi pihak pemkot untuk segera menertibkan kembali sarana dan
prasarana-nya agar keruwetan rencana tata ruang dan wilayah (RTRW) pedestrian
semakin tidak melebar.
Sebenarnya, format pedestrian yang humanis bisa
dilihat di depan Hotel Shangri-La Surabaya. Hanya yang perlu digarisbawahi
adalah konteks “menghijaukan” tidak selalu diasumsikan dengan meletakkan
pot-pot bunga seperti di depan komplek ruko Darmo Park dimana fleksibilitas
para pengguna pedestrian di daerah tersebut menjadi agak terganggu. Contoh lain
ketika melintas di Jalan Raya Gubeng (pojok) dari arah viaduct Jalan
Kertajaya, di hari minggu tidak jarang penulis mendapati jajaran sepeda motor
yang memenuhi lebih dari separuh badan jalan trotoar, pun demikian dengan Jalan
Dharmawangsa. Beda kalau penulis bandingkan dengan pedestrian di kawasan Jalan
Basuki Rachmat atau Jalan Pemuda, misalnya, setidaknya konsep yang dimaksud
sudah berjalan sebagaimana mestinya. Berkaca pada pedestrian di Negara Jepang,
penulis pernah melihat tayangan Discovery Channel yang memperlihatkan suasana bersahabat antara
pejalan kaki dengan pengguna sepeda angin di sebuah pedestrian. Trotoar yang
tertata rapi dengan deretan toko di satu sisi terlihat nyaman, apalagi terdapat
pembatas berupa rimbunan pohon dan pot-pot bunga antara pedestrian dengan jalur
roda empat. Di Surabaya sendiri, keberadaan pohon yang terdapat di area
pedestrian kadangkala juga kurang diperhatikan baik dari sisi keindahan maupun
penataannya. Lantas, mau dibawah kemana arah pedestrian Kota Surabaya ini,
menjadikan lebih humanis atau sebaliknya?
(Dimuat di Harian Surya, 25 Januari 2011)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar