Selasa, 17 Juli 2012

“Menghijaukan” Pedestrian



     Persoalan umum yang sering dihadapi oleh hampir setiap daerah dan kota di Jawa Timur termasuk Kota Surabaya seperti sekarang ini adalah pemanfaatan infrastruktur bagi pejalan kaki (pedestrian) yang tidak sebagaimana mestinya. Dalam situasi mondial ditengah pemerintah  kota  (pemkot) Surabaya sedang giat-giatnya melakukan pembangunan dan perbaikan (maintenance) terhadap sarana dan prasarana seperti pedestrian ternyata masih ditemui sejumlah persoalan klasik berupa hadirnya pedagang kaki lima (PKL), sepeda motor, mobil, maupun becak yang diparkir diatas wilayah tersebut. Disadari atau tidak, upaya pemkot Surabaya melalui instansi terkaitnya seperti: Dishub, Satpol PP, yang dibantu oleh aparat kepolisian setempat dalam menjadikan trotoar sebagai kawasan tertib bagi pejalan kaki agar terbebas dari problem diatas sejauh ini sudah dilakukan meski kurang maksimal. Kecenderungan makin bertambahnya fasilitas umum (fasum) layaknya pedestrian yang sudah atau telah dibangun oleh pemkot Surabaya tersebut, sudah barang tentu menjadi daya tarik tersendiri bagi para PKL dalam berdagang serta biang munculnya lahan parkir baru yang ilegal.
Ironisnya lagi, disaat menjamurnya keadaan tersebut pada akhirnya upaya dalam membuat peraturan dan sanksi tegas bagi para pelanggar area publik ini sepertinya masih sekadar wacana diatas kertas namun mandul secara implementatif. Tulisan ini merupakan bentuk keprihatinan penulis terhadap realitas kondisi pedestrian Kota Surabaya yang tidak diikuti oleh kesadaran para warganya dalam menjadikan Surabaya menjadi kota yang ramah dan tertib. Artinya, dalam menciptakan sebuah tatanan pedestrian agar tepat sasaran, diperlukan sosialisasi yang berkelanjutan kepada warga kota akan kegunaan bangunan tersebut. Kongkretnya, ini merupakan tantangan serius bagi pihak pemkot untuk segera menertibkan kembali sarana dan prasarana-nya agar keruwetan rencana tata ruang dan wilayah (RTRW) pedestrian semakin tidak melebar.
Sebenarnya, format pedestrian yang humanis bisa dilihat di depan Hotel Shangri-La Surabaya. Hanya yang perlu digarisbawahi adalah konteks “menghijaukan” tidak selalu diasumsikan dengan meletakkan pot-pot bunga seperti di depan komplek ruko Darmo Park dimana fleksibilitas para pengguna pedestrian di daerah tersebut menjadi agak terganggu. Contoh lain ketika melintas di Jalan Raya Gubeng (pojok) dari arah viaduct Jalan Kertajaya, di hari minggu tidak jarang penulis mendapati jajaran sepeda motor yang memenuhi lebih dari separuh badan jalan trotoar, pun demikian dengan Jalan Dharmawangsa. Beda kalau penulis bandingkan dengan pedestrian di kawasan Jalan Basuki Rachmat atau Jalan Pemuda, misalnya, setidaknya konsep yang dimaksud sudah berjalan sebagaimana mestinya. Berkaca pada pedestrian di Negara Jepang, penulis pernah melihat tayangan Discovery Channel  yang memperlihatkan suasana bersahabat antara pejalan kaki dengan pengguna sepeda angin di sebuah pedestrian. Trotoar yang tertata rapi dengan deretan toko di satu sisi terlihat nyaman, apalagi terdapat pembatas berupa rimbunan pohon dan pot-pot bunga antara pedestrian dengan jalur roda empat. Di Surabaya sendiri, keberadaan pohon yang terdapat di area pedestrian kadangkala juga kurang diperhatikan baik dari sisi keindahan maupun penataannya. Lantas, mau dibawah kemana arah pedestrian Kota Surabaya ini, menjadikan lebih humanis atau sebaliknya?
   

(Dimuat di Harian Surya, 25 Januari 2011)        

Tidak ada komentar:

Posting Komentar