Dalam situasi mondial seperti sekarang ini, tidak-lah
cukup bijaksana apabila kemudian muncul suatu anggapan bahwa persoalan kemacetan
di Kota Surabaya lebih disebabkan oleh ketidakmampuan pemerintah setempat dan aparat terkait
dalam meredam jumlah kendaraan bermotor yang beredar di masyarakat. Menyalahkan
pihak dealer yang tiap harinya
menjual sepeda motor maupun mobil juga bukan jawaban presisi. Di kota
metropolis ini hingga September 2010 jumlah kendaraan bermotor sudah mencapai
3.895.061 unit, yang jika kendaraan tersebut dijajar di jalan maka panjangnya
bisa mencapai 10.923,5 km. Sementara, daya tampung jalan di ibu kota Provinsi
Jawa Timur ini hanya sekitar 2.096,69 km saja (Surya, 27/11/10). Artinya, batu sandungan perihal kemacetan ini pun
tak lantas dijadikan sebagai barometer utama dalam melihat biang persoalan
(kemacetan) yang sesungguhnya. Melainkan banyak faktor eksternal yang menunjang
“lahir”-nya kemacetan itu sendiri, dimana salah satu diantaranya adalah etika
para pengendara kendaraan bermotor yang masih jauh dari kesan beradab. Minimnya
upaya untuk melakukan restrukturisasi manajemen pengembangan tata ruang wilayah
kota (RTRW) maupun modelisasi rekayasa lalu lintas di Kota Pahlawan harus terus
dicari formulanya. Sejauh ini yang penulis ketahui adalah makin pesatnya pembangunan
gedung komersial seperti: kantor, sekolah, dan mal yang tidak menyediakan lahan
parkir secara memadai, lalu keberadaan pasar tradisional/PKL dengan
memanfaatkan bahu jalan, maupun sikap sopir kendaraan pribadi atau angkutan
umum yang memarkir kendaraannya di sembarang tempat, adalah bukti bahwa kita memang
masih setengah hati untuk bisa keluar dari krusialitas persoalan ini.
Bahkan, terasa jelas sekali pertentangannya: di satu
sisi memunculkan konsep rekayasa lalu lintas agar tercipta rasa aman dan nyaman
bagi para pengendara kendaraan bermotor dalam berlalu lintas. Namun, di sisi
lain kita pula yang menciptakan kemacetan itu sendiri. Dengan kata lain, ada
semacam ketidaksesuaian antara rekayasa pembangunan wilayah kota dengan
kebijakan publik yang diambil oleh pemerintah. Ruas jalan baru di Surabaya
Timur seperti Jalan MERR atau rencana pembangunan jalan layang (fly over) di kawasan Pasar Kembang
merupakan akses tersentralisasinya pembangunan (hanya) di Surabaya. Jika sudah
demikian, apalagi yang akan direkayasa? Ketika konteks akar persoalan kemacetan
semakin jelas terlihat, kenapa tak segera direalisir saja pembangunan berbasis
angkutan massal yang pernah diopinikan sebelumnya. Apa-kah dengan penambahan
ruas jalan baru seperti frontage road
di Jalan Ahmad Yani yang digagas oleh Pemkot Surabaya akan diikuti pula dengan
pembatasan jumlah kendaraan pribadi? Kita lihat saja nanti, yang jelas pengebirian
atas infrastruktur jalan sebagai faktor tunggal dalam rangka penyelesaian
kemacetan ini, harus segera diubah dengan cara pandang yang lebih arif dan
bijak. Reorientasi visi dan strategi berikut penerapannya dalam menciptakan
sebuah site plan wilayah kota dengan
memadukan konsep rekayasa lalu lintas yang baik berikut terjaminnya ruang-ruang
komunal dan lingkungan dari polusi kendaraan bermotor harus dimulai dari
sekarang. Dan, ini bisa terwujud apabila ada niat “politik” yang kuat dalam
menanggulangi pertumbuhan transportasi di perkotaan. Betul?
(Dimuat di Harian Surya, February 8, 2011)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar