Sabtu, 21 Juli 2012

Rekayasa (Kemacetan) Lalu Lintas

Dalam situasi mondial seperti sekarang ini, tidak-lah cukup bijaksana apabila kemudian muncul suatu anggapan bahwa persoalan kemacetan di Kota Surabaya lebih disebabkan oleh  ketidakmampuan pemerintah setempat dan aparat terkait dalam meredam jumlah kendaraan bermotor yang beredar di masyarakat. Menyalahkan pihak dealer yang tiap harinya menjual sepeda motor maupun mobil juga bukan jawaban presisi. Di kota metropolis ini hingga September 2010 jumlah kendaraan bermotor sudah mencapai 3.895.061 unit, yang jika kendaraan tersebut dijajar di jalan maka panjangnya bisa mencapai 10.923,5 km. Sementara, daya tampung jalan di ibu kota Provinsi Jawa Timur ini hanya sekitar 2.096,69 km saja (Surya, 27/11/10). Artinya, batu sandungan perihal kemacetan ini pun tak lantas dijadikan sebagai barometer utama dalam melihat biang persoalan (kemacetan) yang sesungguhnya. Melainkan banyak faktor eksternal yang menunjang “lahir”-nya kemacetan itu sendiri, dimana salah satu diantaranya adalah etika para pengendara kendaraan bermotor yang masih jauh dari kesan beradab. Minimnya upaya untuk melakukan restrukturisasi manajemen pengembangan tata ruang wilayah kota (RTRW) maupun modelisasi rekayasa lalu lintas di Kota Pahlawan harus terus dicari formulanya. Sejauh ini yang penulis ketahui adalah makin pesatnya pembangunan gedung komersial seperti: kantor, sekolah, dan mal yang tidak menyediakan lahan parkir secara memadai, lalu keberadaan pasar tradisional/PKL dengan memanfaatkan bahu jalan, maupun sikap sopir kendaraan pribadi atau angkutan umum yang memarkir kendaraannya di sembarang tempat, adalah bukti bahwa kita memang masih setengah hati untuk bisa keluar dari krusialitas persoalan ini.

Bahkan, terasa jelas sekali pertentangannya: di satu sisi memunculkan konsep rekayasa lalu lintas agar tercipta rasa aman dan nyaman bagi para pengendara kendaraan bermotor dalam berlalu lintas. Namun, di sisi lain kita pula yang menciptakan kemacetan itu sendiri. Dengan kata lain, ada semacam ketidaksesuaian antara rekayasa pembangunan wilayah kota dengan kebijakan publik yang diambil oleh pemerintah. Ruas jalan baru di Surabaya Timur seperti Jalan MERR atau rencana pembangunan jalan layang (fly over) di kawasan Pasar Kembang merupakan akses tersentralisasinya pembangunan (hanya) di Surabaya. Jika sudah demikian, apalagi yang akan direkayasa? Ketika konteks akar persoalan kemacetan semakin jelas terlihat, kenapa tak segera direalisir saja pembangunan berbasis angkutan massal yang pernah diopinikan sebelumnya. Apa-kah dengan penambahan ruas jalan baru seperti frontage road di Jalan Ahmad Yani yang digagas oleh Pemkot Surabaya akan diikuti pula dengan pembatasan jumlah kendaraan pribadi? Kita lihat saja nanti, yang jelas pengebirian atas infrastruktur jalan sebagai faktor tunggal dalam rangka penyelesaian kemacetan ini, harus segera diubah dengan cara pandang yang lebih arif dan bijak. Reorientasi visi dan strategi berikut penerapannya dalam menciptakan sebuah site plan wilayah kota dengan memadukan konsep rekayasa lalu lintas yang baik berikut terjaminnya ruang-ruang komunal dan lingkungan dari polusi kendaraan bermotor harus dimulai dari sekarang. Dan, ini bisa terwujud apabila ada niat “politik” yang kuat dalam menanggulangi pertumbuhan transportasi di perkotaan. Betul?

(Dimuat di Harian Surya, February 8, 2011)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar