Suatu
kali penulis berkesempatan mengikuti Diklat Calon Ahli Keselamatan dan
Kesehatan Kerja (AK3) Umum Angkatan XXIII Tahun 2011 yang diselenggarakan atas
kerjasama antara PPNS ITS Surabaya dengan Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi
RI. Diklat yang berlangsung hampir dua minggu tersebut tentunya mempunyai arti
tersendiri bagi penulis mengingat kebutuhan ahli K3 begitu sangat diperlukan. Keberhasilan
beberapa perusahaan di Kota Gresik (Surya,
6/6) dalam menekan angka kecelakaan kerja tersebut patut mendapat pujian karena
dinilai mampu menjalankan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3)
secara baik. Memang benar demikian, persoalan yang mendasar untuk senantiasa dijadikan
sebagai sorotan utama dalam dunia kerja salah satu diantaranya adalah bagaimana
membumikan K3 (Keselamatan dan Kesehatan Kerja/Occupational Health and Safety) itu secara berkelanjutan.
Keberadaan
istilah “K3” tidak selalu dimuarakan pada lingkungan pabrik, kawasan industri,
area pelabuhan, dll. K3 saat ini sudah menjadi bagian yang teringtegral dengan
sistem/manajemen perusahaan yang tidak hanya menomorsatukan produksi, namun
bagaimana menempatkan tenaga kerja itu menjadi prioritas utama untuk
diselamatkan dan disehatkan. Tenaga kerja secara langsung berhadapan dengan
tempat kerja dimana disekelilingnya terdapat sumber-sumber bahaya, seperti:
peralatan mesin, tabung/pipa gas, instalasi listrik, maupun bahan-bahan kimia
yang mudah meledak. Kalau pun toh ada
pertanyaan, semisal: Apakah selama ini kita sudah concern terhadap K3?
Tentu, akan ada banyak jawaban yang asimetris,
sebab masih saja ditemui perusahaan yang sudah mengibarkan bendera K3 namun realitasnya
lemah secara implementasi. Atau, apakah kepala dinas ketenagakerjaan dan
transmigrasi daerah setempat mempunyai latar belakang (ahli) K3? Sehingga tak
hanya dijadikan sebagai jabatan politis saja, sementara pengawasan terhadap
dipatuhinya UU No. 1 Thn 1970 oleh perusahaan pun tak berjalan maksimal. Ironis
memang.Penulis tertarik dengan sebuah spanduk di depan kantor pelayanan Telkom Kebalen Surabaya Utara, isinya: “Mari Tingkatkan Pelaksanaan Gema Daya K3 Untuk Mendukung Dunia Usaha dan Globalisasi”. Penulis kira si pembuat tulisan ini sepertinya sudah mengerti betul bahwa di tahun 2015 nanti adalah momentum bagi Indonesia (untuk) Berbudaya K3. Intinya, dengan mengedepankan K3 secara total maka semakin tinggi pula prestise perusahaan tersebut untuk mampu bersaing di era globalisasi dunia usaha. Pertanyaan-nya adalah sejauh mana kita menjalankan K3 hingga saat ini sudah berhasil atau tidak? Sudah berapa banyak data pendukung yang meyakinkan bahwa perusahaan kita memang pantas untuk mendapatkan penghargaan zero accident dari pemerintah? Lantas, terobosan seperti apa yang bisa ditawarkan sehingga tenaga kerja yang juga merupakan partner perusahaan tersebut benar-benar terlindungi hak-haknya? Seberapa yakin kita sudah menjalankan UU No. 1 Thn. 1970 secara konsekuen dan penuh tanggung jawab? Terakhir, bagaimana pula dengan eksistensi K3 berikut perangkat pelaksana di lapangan, mulai dari ahli K3, P2K3, hingga Pegawai Pengawas-nya mampu menjawab tantangan K3 di masa depan? Kiranya, H.W Heinrich dalam bukunya Industrial Accident Preventif yang dianggap sebagai peletak dasar dimulainya gerakan K3 harus dijadikan sebagai haluan “politik” kerja dimana pun berada.
(Dimuat di Harian Surya, 6 Juni
2011)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar